darulmaarif.net – Indramayu, 03 November 2025 | 09.00 WIB
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pesantren mengalami perubahan besar seiring dengan berkembangnya teknologi dan meningkatnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan anak. Kini, hubungan antara wali santri dan pihak pesantren tidak lagi sekadar urusan menitipkan anak untuk belajar ilmu agama, melainkan menjadi ruang komunikasi dua arah yang sirkuler nan dinamis. Para wali santri semakin aktif memantau perkembangan anaknya, sementara pihak pesantren dihadapkan pada tantangan menjaga kepercayaan, transparansi, dan nilai-nilai tradisi di tengah geliat arus modernisasi.
Kekhawatiran Orang Tua terhadap Pergaulan Anak di Pesantren
Kekhawatiran ini menjadi hal yang sangat wajar. Banyak orang tua takut anaknya terjerumus pada pergaulan yang tidak sehat, bahkan di lingkungan pesantren sekalipun. Era digital membuat batas antara dunia luar dan dunia pesantren menjadi semakin tipis. Akses gawai, media sosial, dan budaya populer kerap menyusup tanpa disadari ke dalam kehidupan para santri. Karena itu, wali santri menuntut adanya transparansi dan keterbukaan tentang bagaimana pesantren mengelola pergaulan, pembinaan karakter, dan pengawasan terhadap aktivitas santri sehari-hari.
Namun, penting disadari bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga tempat pembentukan karakter dan kemandirian. Banyak pesantren memiliki aturan ketat soal penggunaan HP, jam keluar, hingga pergaulan antar santri. Semua ini bertujuan menjaga kesucian niat dan fokus belajar. Wali santri perlu memahami bahwa pengawasan pesantren bukan berarti mengekang, melainkan membimbing agar anak tumbuh dengan akhlak dan adab yang baik.
Transparansi dan Kepercayaan antara Wali dan Pengasuh Pesantren
Kunci utama hubungan yang sehat antara wali dan pihak pesantren adalah kepercayaan. Kepercayaan tidak datang tiba-tiba, melainkan tumbuh melalui komunikasi yang terbuka dan penuh saling menghargai. Di era modern, sebagian orang tua menginginkan laporan rutin tentang kondisi anaknya—baik akademik maupun non-akademik. Maka, pesantren perlu menyesuaikan diri dengan menyediakan sistem komunikasi yang transparan dan humanistanpa mengurangi ruh keikhlasan dalam mendidik santri.
Hubungan wali dan pengasuh (ustadz atau kyai) harus dibangun dengan kesadaran bahwa keduanya memiliki tujuan yang sama: mendidik anak menjadi insan yang berakhlakul karimah.
Jika wali santri terlalu menuntut tanpa memahami sistem pendidikan pesantren, maka konflik bisa saja muncul. Begitu pula sebaliknya, jika pihak pesantren menutup diri dan enggan berkomunikasi, maka kepercayaan akan mudah luntur.
Peran Digitalisasi Komunikasi Pesantren
Digitalisasi membuka peluang besar bagi pesantren untuk memperkuat hubungan dengan wali santri. Kini banyak pesantren yang memanfaatkan platform digital seperti website resmi, grup WhatsApp, dan aplikasi khusus wali santri untuk memberikan informasi tentang kegiatan, jadwal, nilai, hingga kondisi kesehatan anak.
Langkah ini bukan sekadar mengikuti tren teknologi, melainkan bentuk tanggung jawab moral agar wali santri tetap merasa dekat dengan anaknya meski terpisah jarak. Dengan komunikasi digital yang baik, pesantren dapat meminimalisir kesalahpahaman, mempercepat penyampaian informasi, dan memperkuat citra positif pesantren di mata masyarakat.
Namun, pesantren juga perlu berhati-hati agar digitalisasi tidak mengikis nilai tawadhu’ (rendah hati) dan keikhlasan dalam berinteraksi. Teknologi hanyalah alat, bukan pengganti hubungan spiritual antara santri, wali, dan guru.
Sebagaimana dijelaskan dalam Ta’limul Muta’allim karya Imam al-Zarnuji (hal. 15, penerbit Al-Haramain, Surabaya):
Pelajar harus mengandalkan Tuhan dan mempercayai-Nya dalam semua urusannya.
Artinya: “Seorang penuntut ilmu hendaknya bertawakal kepada Alloh dan menaruh kepercayaan penuh kepada-Nya dalam segala urusannya.” (Ta’limul Muta’allim karya Imam al-Zarnuji, [Al-Haramain, Surabaya]hal. 15)
Sedangkan Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali At-Thusy dalam kitabnya Iḥya” milik ad-Din menjelaskan pentingnya adab bagi santri dalam menuntut ilmu dan menghormati guru-gurunya di pesantren. Beliau menulis:
Ia harus menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada gurunya, seperti halnya orang sakit menyerahkan diri kepada dokter yang ahli.
Artinya: “Seorang murid hendaknya menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada gurunya sebagaimana seorang pasien menyerahkan dirinya kepada dokter yang ahli.” (Imam Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūmid Diin, juz 1, hlm. 53, Beirut: Dārul Ma’rifah)
Makna pesan Imam La-Ghozali ini masih sangat relevan dengan konteks hubungan wali santri dan pesantren di era modern. Orang tua sebagai wali seharusnya mempercayakan proses pendidikan anak kepada pesantren sebagaimana pasien mempercayakan dirinya kepada dokter. Kepercayaan itu tidak berarti pasif, melainkan aktif menjaga komunikasi dan mendukung setiap langkah pendidikan dengan hati yang ridho kepada para guru pembimbing anak-anak di pesantren.
Pada akhirnya, hubungan wali santri dan pesantren bukan sekadar urusan administrasi atau informasi digital, melainkan hubungan batin yang dibangun atas dasar niat liLlāh — mencari ridho Alloh SWT melalui pendidikan anak. Dengan sinergi antara kepercayaan, komunikasi, dan teknologi yang bijak, pesantren akan tetap menjadi mercusuar akhlak di tengah derasnya arus modernitas.
Apakah kepercayaan sejati lahir dari keterbukaan total, atau justru dari kemampuan untuk melepaskan dan berserah diri kepada sistem pendidikan yang kita percayai? Di mana batas antara cinta orang tua yang ingin melindungi, dan keyakinan yang membiarkan anak tumbuh dalam proses pendewasaan spiritual di bawah bimbingan pesantren? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada refleksi lebih dalam tentang makna pendidikan dan keimanan dalam konteks kehidupan modern.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door
Download Film
Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.