darulmaarif.net – Indramayu, 18 Agustus 2025 | 08.00 WIB
Ada sebuah paradoks yang selalu menghantui peradaban manusia: di satu sisi, kita membangun pengetahuan dengan penuh dedikasi; di sisi lain, kita juga kerap menghancurkannya. Buku, sebagai simbol akumulasi ilmu dan kebijaksanaan, berulang kali menjadi korban dari nafsu kuasa, kebencian ideologis, hingga fanatisme yang membutakan.
Hari ini, ketika dunia dipenuhi informasi tanpa batas, kita seakan lupa bahwa akses terhadap pengetahuan tidak selalu semudah klik di layar gawai. Dari pembakaran Perpustakaan Alexandriapenghancuran karya-karya ilmuwan Muslim di Andalusia, hingga sensor digital di era modern, sejarah memperlihatkan bahwa penghancuran buku bukan sekadar hilangnya kertas dan tinta, melainkan penghancuran ingatan kolektif umat manusia.
Mengapa Buku Selalu Menjadi Target?
Fernando Báez dalam karyanya Buku menghancurkan dari waktu ke waktu menyingkap bagaimana buku dianggap sebagai ancaman oleh para penguasa otoriter. Buku menyimpan gagasan, dan gagasan adalah sesuatu yang berbahaya bagi mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan secara absolut.
Catatan Sejarah:
- Kaisar Qin Shi Huang (abad ke-3 SM) memerintahkan pembakaran teks klasik Konfusianisme di Tiongkok karena dianggap mengganggu otoritasnya.
- Perpustakaan Alexandriasalah satu pusat pengetahuan terbesar dunia kuno, musnah terbakar—sebuah tragedi yang hingga kini dianggap sebagai luka abadi dalam sejarah intelektual.
- Waktu Inkuisisi Spanyolribuan manuskrip Arab di Granada dibakar demi memutus warisan ilmu Islam di Eropa.
- Di abad ke -20, Nazi Jerman secara sistematis membakar buku-buku yang dianggap “tidak sesuai” dengan ideologi mereka, termasuk karya filsuf Yahudi, Marxist, dan literatur progresif lainnya.
Dalam setiap peristiwa ini, kita melihat pola yang sama: penghancuran buku adalah penghancuran identitas, memori, dan alternatif cara berpikir.
Alasan Utama di Balik Penghancuran Buku
Filsuf Prancis, Michel Foucaultpernah menyatakan bahwa pengetahuan dan kekuasaan saling terkait. Mereka yang berkuasa menentukan pengetahuan mana yang boleh bertahan dan mana yang harus dimusnahkan. Dengan kata lain, penghancuran buku bukan hanya soal fisik, tapi juga soal epistemik hegemoni– Kewirausahaan mengelola cara orang memahami dunia.
Sementara itu, Hannah Arendt menekankan bahwa totalitarianisme selalu berusaha menghapus pluralitas gagasan. Buku, yang merekam kebebasan berpikir, dianggap ancaman. Dalam konteks ini, penghancuran buku adalah penghancuran keberagaman nalar.
Baginda Nabi Muhammad SAW juga menyinggung pentingnya merawat pengetahuan dengan menulis sebagai artefak memori peradaban. Dalam Hadits, Nabi SAW menegaskan:
Dan atas wewenang Abdullah bin Amr, dia berkata: Saya berkata: O utusan Tuhan, apakah saya menulis apa yang saya dengar dari Anda? Dia berkata: Ya, dan menulis, dan dia yang ada di tangannya adalah apa yang dia keluar kecuali kebenaran
Artinya: “Dari Abdullah bin Amr, dia berkata:” Aku bertanya, Rosululloh, bisakah aku menulis apa yang aku dengar darimu? “Dia berkata:” Ya, tulislah! Demi jiwaku di tangannya, dia tidak keluar darinya kecuali kebenaran. “(Hr.
Dalam Kitab Al-Qurthubi al-‘alaq al-‘Alaq Verse 96 dijelaskan:
Orang Yang Mahakuasa mengatakan: “Dia yang mengajar pena” berarti kaligrafi dan menulis; Artinya, ilmu garis dengan pena. Dan Saeed menceritakan otoritas Qatada, yang berkata: Pena itu adalah berkah dari Tuhan Yang Mahakuasa itu hebat. Dia menunjukkan kesempurnaan kemurahan hati, kemuliaan bagi -Nya, bahwa dia adalah pengetahuan para hamba -hambanya kecuali mereka tahu, dan memindahkan mereka dari kegelapan ketidaktahuan ke cahaya pengetahuan, dan memperingatkan tentang kebajikan ilmu penulisan, karena manfaat besar yang tidak dikelilingi olehnya kecuali. Dan apa yang ditulis oleh ilmu pengetahuan, atau membatasi keputusan, juga bukan berita dari dua yang pertama dan artikel mereka, atau buku -buku Allah tidak ditulis kecuali dengan menulis; Kalau bukan karena masalah agama dan dunia tidak akan diluruskan. Dan nama saya adalah pena karena dia bermimpi; Artinya, dipotong, dan pemangkasan kuku.
Artinya: “Firman Alloh Ta‘ala: “Orang yang mengajar (manusia) dengan pena ‘ Itu berarti menulis dan karakter; Artinya, Allah mengajar orang untuk menulis dengan pena. Sa’id menceritakan dari Qatadah, dia berkata: “Pena adalah nikmat besar dari Alloh Ta‘ala. Seandainya tidak ada pena, niscaya agama tidak akan tegak, dan kehidupan tidak akan berjalan baik.”
Hal ini menunjukkan kesempurnaan kemurahan Alloh Subḥānahu wa Ta‘ālā, karena Dia telah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya apa yang sebelumnya mereka tidak ketahui, dan memindahkan mereka dari kegelapan kebodohan menuju cahaya ilmu. Alloh juga memberi perhatian terhadap keutamaan ilmu tulisan, karena di dalamnya terdapat banyak manfaat besar yang tidak dapat dihitung kecuali oleh-Nya.
Tanpa tulisan, ilmu-ilmu tidak akan terdokumentasi, hikmah tidak akan terjaga, berita-berita orang terdahulu beserta perkataan mereka tidak akan tersampaikan, dan kitab-kitab Alloh yang diturunkan pun tidak akan tertulis. Maka tanpa tulisan, urusan agama dan dunia tidak akan tegak.
Itu dinamai qolam (pena) karena ia Anak laki -laki; yaitu memotong (ujungnya). Dari sinilah istilah Taqlīm al -ẓufr (memotong kuku) berasal. (Tafsir Al-Qurthubi Online Surat Al-‘Alaq Ayat 96, diakses pada 17/08/2025, 20.41 WIB)
Jika ayatnya “Siapa yang mengajar pena” dan hadits Abdullah bin Amr di atas menegaskan pentingnya menulis untuk menjaga ilmu, “Buku yang menghancurkan dari waktu ke waktu” menunjukkan sisi gelap sejarah: bahwa ilmu yang telah ditulis tidak selalu selamat, bahkan kerap menjadi korban penghancuran sistematis. Dari pembakaran Perpustakaan Alexandria di era Yunani Kuno, hingga penghancuran ribuan manuskrip Andalusia di Granada, semuanya mencerminkan bagaimana kekuasaan sering kali berusaha memutus ingatan kolektif manusia dengan menghancurkan tulisan.
Dalam perspektif Islam, menulis hadits dan menjaga literasi adalah bagian dari amanah ilahi, agar cahaya ilmu tidak padam oleh kebodohan atau kesengajaan manusia yang zalim. Maka, penghancuran buku bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi tragedi spiritual dan intelektual yang menyalahi pesan Alloh: memindahkan manusia dari gelapnya kebodohan menuju terang benderangnya ilmu. Di sinilah letak relevansinya: umat Islam harus mewarisi semangat Rosululloh SAW dalam menjaga ilmu dengan tulisan, sekaligus menyadari ancaman nyata dari hilangnya naskah, arsip, atau kitab, sebagaimana dicatat dalam sejarah panjang peradaban manusia.
Relevansi dengan Persoalan Manusia Saat Ini
Di era digital, kita mungkin tidak lagi melihat buku -buku pembakaran api di alun -alun. Tetapi “pembakaran” dalam bentuk baru terus terjadi:
- Sensor Digital di berbagai negara membatasi akses pada informasi kritis.
- Disinformasi di media sosial yang merusak kualitas pengetahuan publik.
- Komersialisasi pengetahuandi mana akses ilmu hanya bisa didapat mereka yang memiliki privilese.
Dengan demikian, masalah utama umat manusia bukan lagi sekadar penghancuran fisik buku, melainkan penghancuran nalar kritis. Saat orang lebih memilih informasi cepat ketimbang pemahaman mendalam, kita sedang berhadapan dengan bentuk penghancuran pengetahuan yang lebih halus namun tak kalah berbahaya.
Nalar Inklusif sebagai Jalan Keluar
Membangun nalar inklusif berarti menghidupkan kembali semangat keterbukaan terhadap gagasan. Ia menuntut kita untuk tidak takut pada perbedaan, melainkan menggunakannya sebagai bahan dialog. Sebab, sebagaimana kata Socrates“hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tidak layak dijalani.”
Hari ini, tantangan terbesar manusia bukan hanya menjaga buku tetap utuh, tetapi juga menjaga akal sehat dan keterbukaan pikiran agar tidak musnah oleh arus fanatisme dan kebodohan kolektif.
Penghancuran buku dari masa ke masa mengajarkan kita bahwa manusia bisa kehilangan ingatannya sendiri bila menutup pintu pada keragaman gagasan. Di sinilah kita dituntut untuk merawat pengetahuan, bukan hanya dengan menyimpan buku, tetapi dengan menghadirkan nalar inklusif yang menghidupkan dialog dan keberagaman.
Karena pada akhirnya, menghancurkan buku adalah menghancurkan manusia; sementara merawat pengetahuan adalah merawat masa depan kemanusiaan itu sendiri.
Bagaimana menurut Anda, apakah era digital saat ini justru lebih berbahaya bagi pengetahuan dibanding masa lalu?
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
Game News
Berita Olahraga
News
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Teknologi
Seputar Teknologi
Drama Korea
Resep Masakan
Pendidikan
Berita Terbaru
Berita Terbaru
Download Film
Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.